Dari Ceramah Dzuhur di kantor siang ini, pembahasan yang sangat mendasar dari Ust. Muhsinin Fauzi. Sebenarnya saya (sekali lagi hehe..) tidak hadir dari awal, tapi mudah-mudahan ada yang bisa menjadi hikmah.
Bersyukur adalah situasi batin yang terus merasakan kenikmatan atas karunia Allah.
Berkembangnya kapitalisme dan semakin meluasnya globalisasi, menyebabkan kita selalu dikejar target, yang ternyata dapat mengarah menjadi sikap kurang bersyukur, melupakan syukur.
Target, sebagaimana yang kita sering alami sendiri, semakin lama semakin meningkat. Tidak pernah ada target yang mundur. Jika saat ini kita berhasil meningkatkan penjualan 10% misalnya, maka tahun depan akan ditarget menjadi 15%. Tidak mungkin menjadi 5%. Dan itu terjadi terus menerus. Terus meningkat.
Dalam mengejar target, kita jadi seolah-olah melupakan syukur. Kita melihat yang belum kita dapatkan, dan melupakan yang sudah kita dapatkan.
Rasa ingin mendapatkan lebih bukan merupakan hal yang salah. Tetapi kita harus bisa merasa bahagia dengan yang sudah kita dapatkan.
Yang sering terjadi saat ini, begitu kita memperoleh yang kita inginkan, kita langsung mengeset target berikutnya.
Contohnya, hari ini masuk kerja, kita langsung memasang target dalam 2 tahun promosi. Hari ini kita dipromosi, kita langsung pasang target promosi lebih tinggi lagi.
Saat ini di kalangan motivator, mulai dimasyarakatkan metode "menikmati kemenangan-kemenangan kecil". Keberhasilan-keberhasilan kecil yang diperoleh kita nikmati, agar hati lebih tenang dan tenteram.
Maka salah satu tips untuk dapat bersyukur adalah fokus terhadap apa yang sudah didapatkan dan jangan berfokus kepada apa yang belum didapatkan.
Bersyukur artinya menikmati yang didapatkan.
Kabahagiaan artinya merasakan kenikmatan atas yang didapatkan.
Sehingga bersyukur dan bahagia adalah hal yang sangat saling berkaitan.
Penelitian menemukan bahwa tingkat kebahagiaan masyarakat modern menurun drastis. Survei terhadap 11 kota di Indonesia tentang tingkat kebahagiaan, menunjukkan bahwa 50% orang Jakarta tidak bahagia. Orang Medan paling tidak bahagia, dan orang Semarang paling bahagia.
Jika kita bersyukur Allah akan meridhai.
Bersyukur pada dasarnya adalah ibadah hati yang cukup mudah. Hanya dibutuhkan konsentrasi bati, tidak diperlukan waktu dan posisi khusus. Dapat dilakukan kapan saja dan di mana saja.
Terdapat tiga kategori tingkatan syukur :
Tingkat pertama, bersyukur atas karunia Allah yang kebetulan kita sukai.
Bersyukur ini adalah bersyukur tingkat paling dasar, tingkat awam. Namun tetap perlu kerja keras untuk dapat membiasakannya.
Tingkat kedua, bersyukur atas karunia yang datang dari Allah yang tidak kita sukai.
Harus diyakini bahwa mata manusia tidak seawas iradah Allah. Harus diyakini bahwa Allah selalu memberikan yang terbaik. Dengan tingkat syukur seperti ini, apapun yang terjadi di luar kita tidak akan membuat kita sedih. Karena kebaikan belum tentu ada pada yang kita sukai.
Tingkat ketiga, bersyukur kepada Allah tanpa melihat karunia.
Bersyukur tertinggi, tanpa kepentingan. Selama datang dari Allah, maka disyukuri.
Apakah lalu dengan kondisi seperti ini maka jadi tidak ada dinamika?
Ternyata justru sebaliknya.
Dalam bab lain kehidupan, ada perintah meningkatkan kebaikan, yang juga harus tetap dilakukan. Justru dengan rasa syukur, dengan kelapangan hati, bisa meningkatkan potensi. Jika hati keruh, potensi tidak keluar, justru sulit untuk meningkatkan kebaikan. Hal ini berlaku umum, dalam kita menyikapi orang lain. Penerimaan akan mendatangkan potensi, penolakan akan menurunkan potensi.
Wednesday, November 24, 2010
A Good Message
Pagi ini saya terima email bagus sekali dari milis asiforbaby. Saya copy paste ya. Semoga bermanfaat :-)
===
This is a powerful message in our modern society. We seemed to have lost our bearing & our sense of direction.
*
One young academically excellent person went to apply for a managerial position in a big company.
He passed the first interview, the director did the last interview, made the last decision.
The director discovered from the CV that the youth's academic achievements were excellent all the way, from the secondary school until the postgraduate research, never had a year when he did not score.
The director asked, "Did you obtain any scholarships in school?"
The youth answered "none".
The director asked, " Was it your father who paid for your school fees?"
The youth answered, "My father passed away when I was one year old, it was my mother who paid for my school fees.
The director asked, " Where did your mother work?"
The youth answered, "My mother worked as clothes cleaner. The director requested the youth to show his hands. The youth showed a pair of hands that were smooth and perfect.
The director asked, " Have you ever helped your mother wash the clothes before?"
The youth answered, "Never, my mother always wanted me to study and read more books. Furthermore, my mother can wash clothes faster than me."
The director said, "I have a request. When you go back today, go and clean your mother's hands, and then see me tomorrow morning.*
The youth felt that his chance of landing the job was high. When he went back, he happily requested his mother to let him clean her hands. His mother felt strange, happy but with mixed feelings, she showed her hands to the kid.
The youth cleaned his mother's hands slowly. His tear fell as he did that. It was the first time he noticed that his mother's hands were so wrinkled, and there were so many bruises in her hands. Some bruises were so painful that his mother shivered when they were cleaned with water.
This was the first time the youth realized that it was this pair of hands that washed the clothes everyday to enable him to pay the school fee. The bruises in the mother's hands were the price that the mother had to pay for his graduation, academic excellence and his future.
After finishing the cleaning of his mother hands, the youth quietly washed all the remaining clothes for his mother.
That night, mother and son talked for a very long time.
Next morning, the youth went to the director's office.
The Director noticed the tears in the youth's eyes, asked: " Can you tell me what have you done and learned yesterday in your house?"
The youth answered, " I cleaned my mother's hand, and also finished cleaning all the remaining clothes"
The Director asked, " please tell me your feelings."
The youth said, Number 1, I know now what is appreciation. Without my mother, there would not be the successful me today. Number 2, by working together and helping my mother, only I now realize how difficult and tough it is to get something done. Number 3, I have come to appreciate the importance and value of family relationship.
The director said, " This is what I am looking for to be my manager. I want to recruit a person who can appreciate the help of others, a person who knows the sufferings of others to get things done, and a person who would not put money as his only goal in life. You are hired."
A child, who has been protected and habitually given whatever he wanted, would develop "entitlement mentality" and would always put himself first. He would be ignorant of his parent's efforts. When he starts work, he assumes that every person must listen to him, and when he becomes a manager, he would never know the sufferings of his employees and would always blame others. For this kind of people, who may be good academically, may be successful for a while, but eventually would not feel sense of achievement. He will grumble and be full of hatred and fight for more. If we are this kind of protective parents, are we really showing love or are we destroying the kid instead?*
You can let your kid live in a big house, eat a good meal, learn piano, watch a big screen TV. But when you are cutting grass, please let them experience it. After a meal, let them wash their plates and bowls together with their brothers and sisters. It is not because you do not have money to hire a maid, but it is because you want to love them in a right way. You want them to understand, no matter how rich their parents are, one day their hair will grow gray, same as the mother of that young person. The most important thing is your kid learns how to appreciate the effort and experience the difficulty and learns the ability to work with others to get
things done. *
===
This is a powerful message in our modern society. We seemed to have lost our bearing & our sense of direction.
*
One young academically excellent person went to apply for a managerial position in a big company.
He passed the first interview, the director did the last interview, made the last decision.
The director discovered from the CV that the youth's academic achievements were excellent all the way, from the secondary school until the postgraduate research, never had a year when he did not score.
The director asked, "Did you obtain any scholarships in school?"
The youth answered "none".
The director asked, " Was it your father who paid for your school fees?"
The youth answered, "My father passed away when I was one year old, it was my mother who paid for my school fees.
The director asked, " Where did your mother work?"
The youth answered, "My mother worked as clothes cleaner. The director requested the youth to show his hands. The youth showed a pair of hands that were smooth and perfect.
The director asked, " Have you ever helped your mother wash the clothes before?"
The youth answered, "Never, my mother always wanted me to study and read more books. Furthermore, my mother can wash clothes faster than me."
The director said, "I have a request. When you go back today, go and clean your mother's hands, and then see me tomorrow morning.*
The youth felt that his chance of landing the job was high. When he went back, he happily requested his mother to let him clean her hands. His mother felt strange, happy but with mixed feelings, she showed her hands to the kid.
The youth cleaned his mother's hands slowly. His tear fell as he did that. It was the first time he noticed that his mother's hands were so wrinkled, and there were so many bruises in her hands. Some bruises were so painful that his mother shivered when they were cleaned with water.
This was the first time the youth realized that it was this pair of hands that washed the clothes everyday to enable him to pay the school fee. The bruises in the mother's hands were the price that the mother had to pay for his graduation, academic excellence and his future.
After finishing the cleaning of his mother hands, the youth quietly washed all the remaining clothes for his mother.
That night, mother and son talked for a very long time.
Next morning, the youth went to the director's office.
The Director noticed the tears in the youth's eyes, asked: " Can you tell me what have you done and learned yesterday in your house?"
The youth answered, " I cleaned my mother's hand, and also finished cleaning all the remaining clothes"
The Director asked, " please tell me your feelings."
The youth said, Number 1, I know now what is appreciation. Without my mother, there would not be the successful me today. Number 2, by working together and helping my mother, only I now realize how difficult and tough it is to get something done. Number 3, I have come to appreciate the importance and value of family relationship.
The director said, " This is what I am looking for to be my manager. I want to recruit a person who can appreciate the help of others, a person who knows the sufferings of others to get things done, and a person who would not put money as his only goal in life. You are hired."
A child, who has been protected and habitually given whatever he wanted, would develop "entitlement mentality" and would always put himself first. He would be ignorant of his parent's efforts. When he starts work, he assumes that every person must listen to him, and when he becomes a manager, he would never know the sufferings of his employees and would always blame others. For this kind of people, who may be good academically, may be successful for a while, but eventually would not feel sense of achievement. He will grumble and be full of hatred and fight for more. If we are this kind of protective parents, are we really showing love or are we destroying the kid instead?*
You can let your kid live in a big house, eat a good meal, learn piano, watch a big screen TV. But when you are cutting grass, please let them experience it. After a meal, let them wash their plates and bowls together with their brothers and sisters. It is not because you do not have money to hire a maid, but it is because you want to love them in a right way. You want them to understand, no matter how rich their parents are, one day their hair will grow gray, same as the mother of that young person. The most important thing is your kid learns how to appreciate the effort and experience the difficulty and learns the ability to work with others to get
things done. *
Sabar? Mungkin Ini 3 Kuncinya
2 hari yang lalu, hari Senin saya demam, radang tenggorokan, tertular dari anak saya yang nomor dua, yang Senin itu sudah mulai sehat.
Senin malam, anak saya yang bungsu mulai demam. Selasa saya masih dalam penyembuhan, sekaligus menjadi perawat anak saya yang bungsu, lengkap dengan begadangnya.
Rabu, karena tidak enak sudah dua hari tidak masuk kantor, sayapun berangkat. Alhamdulillah si bungsu ternyata sudah mulai membaik, sehingga sudah bisa ditangani oleh Mbak Susternya.
Berhubung baru begadang plus masih belum sembuh benar, pulang kantor saya rasanya benar-benar lelah.
Alhamdulillah masih sempat mandi. Dan jam 5 sudah sampai di rumah.
Mulailah bermunculan berbagai masalah sehingga akhirnya kesabaran saya hilang (lagi). Hiks.
Anak kedua mogok mengerjakan PR. Setelah dipaksa, dia mengerjakan PR sambil menangis. Anak bungsu rewel, minta naik ke atas, turun ke bawah. Ayah saya datang, saya tak sempat bicara lama. Anak pertama saya cek, belum belajar. Mbak Suster mengeluh meriang. Lampu dan AC kamar menyala padahal tidak ada orang.
Padahal saya masih punya target pribadi, saya belum makan, belum shalat Isya, belum packing orderan, plus hidung masih mampet karena flu.
Rasanya saya sungguh manusia superburuk. Tidak bisa menjaga kesehatan diri dan keluarga. Tidak bisa memotivasi anak untuk belajar. Tidak bisa me-manage para Mbak dan penggunaan peralatan di rumah. Tidak bisa menjadi anak yang baik buat Ayah saya.
Perasaan ini membuat saya semakin down, semakin bete. Dan dengan betenya saya, semakin buruk reaksi saya terhadap berbagai persoalan yang di waktu lain bisa saya selesaikan dengan gemilang.
Sampai akhirnya semua anak sudah tidur. Setelah saya selesai makan. Setelah saya selesai shalat Isya dan packing orderan.
Tiba-tiba rasanya 80% persoalan jadi selesai.
Namun saya jadi menyesal, betapa sesungguhnya tadi banyak hal yang bisa saya sikapi dengan baik.
Mungkin kuncinya :
Pertama, lupakan target pribadi.
Makan masih bisa ditunda. Waktu Isya masih panjang. Packing orderan apa lagi, tertunda sehari pun tak masalah.
Kedua, berlaku kuat dan sabar.
Walaupun sudah lelah dan mau meledak. Berpura-puralah untuk tetap kuat dan sabar. Kalau perlu niatkan dalam rangka jaim dan gengsi. It might work.
Ketiga, hilangkan harapan akan kesempurnaan.
Harapan akan kesempurnaan membuat kita terbeban akan target. Mungkin anak kita boleh-boleh saja PR-nya tidak terlalu bagus. Mungkin anak kita boleh-boleh saja sekali-sekali tidak belajar. Mungkin tidak apa-apa sekali-sekali tidak menyambut kedatangan Ayah.
Point terakhir ini yang sepertinya paling penting. Dengan melihat prestasi walaupu kecil, kita menjadi lebih tenang.
Dan tadi performansi saya sebenarnya tidak terlalu buruk.
Saya sempat mendengar si sulung berlatih piano dan tepuk tangan. Saya sempat shalat maghrib dengan tenang karena si bungsu dengan suka rela beralih ke suami. Anak nomor dua akhirnya bisa menikmati mengerjakan PR-nya. Si Mbak Suster ternyata sudah tidak meriang. Saya sempat juga bercanda dengan si bungsu, dan dia tertawa geli.
Hidung mampet, sebaiknya cobalah untuk tabah. Bagaimana jika nanti kena penyakit yang lebih parah? Apa akan merasa layak untuk terus berkeluh kesah dan marah-marah? Baru hidung saja yang bermasalah.
Ternyata, malam ini tidak terlalu buruk. Cobalah untuk memaafkan diri sendiri. Walaupun tetap berusaha untuk memperbaiki diri.
Tetap semangaaaat :-)
Senin malam, anak saya yang bungsu mulai demam. Selasa saya masih dalam penyembuhan, sekaligus menjadi perawat anak saya yang bungsu, lengkap dengan begadangnya.
Rabu, karena tidak enak sudah dua hari tidak masuk kantor, sayapun berangkat. Alhamdulillah si bungsu ternyata sudah mulai membaik, sehingga sudah bisa ditangani oleh Mbak Susternya.
Berhubung baru begadang plus masih belum sembuh benar, pulang kantor saya rasanya benar-benar lelah.
Alhamdulillah masih sempat mandi. Dan jam 5 sudah sampai di rumah.
Mulailah bermunculan berbagai masalah sehingga akhirnya kesabaran saya hilang (lagi). Hiks.
Anak kedua mogok mengerjakan PR. Setelah dipaksa, dia mengerjakan PR sambil menangis. Anak bungsu rewel, minta naik ke atas, turun ke bawah. Ayah saya datang, saya tak sempat bicara lama. Anak pertama saya cek, belum belajar. Mbak Suster mengeluh meriang. Lampu dan AC kamar menyala padahal tidak ada orang.
Padahal saya masih punya target pribadi, saya belum makan, belum shalat Isya, belum packing orderan, plus hidung masih mampet karena flu.
Rasanya saya sungguh manusia superburuk. Tidak bisa menjaga kesehatan diri dan keluarga. Tidak bisa memotivasi anak untuk belajar. Tidak bisa me-manage para Mbak dan penggunaan peralatan di rumah. Tidak bisa menjadi anak yang baik buat Ayah saya.
Perasaan ini membuat saya semakin down, semakin bete. Dan dengan betenya saya, semakin buruk reaksi saya terhadap berbagai persoalan yang di waktu lain bisa saya selesaikan dengan gemilang.
Sampai akhirnya semua anak sudah tidur. Setelah saya selesai makan. Setelah saya selesai shalat Isya dan packing orderan.
Tiba-tiba rasanya 80% persoalan jadi selesai.
Namun saya jadi menyesal, betapa sesungguhnya tadi banyak hal yang bisa saya sikapi dengan baik.
Mungkin kuncinya :
Pertama, lupakan target pribadi.
Makan masih bisa ditunda. Waktu Isya masih panjang. Packing orderan apa lagi, tertunda sehari pun tak masalah.
Kedua, berlaku kuat dan sabar.
Walaupun sudah lelah dan mau meledak. Berpura-puralah untuk tetap kuat dan sabar. Kalau perlu niatkan dalam rangka jaim dan gengsi. It might work.
Ketiga, hilangkan harapan akan kesempurnaan.
Harapan akan kesempurnaan membuat kita terbeban akan target. Mungkin anak kita boleh-boleh saja PR-nya tidak terlalu bagus. Mungkin anak kita boleh-boleh saja sekali-sekali tidak belajar. Mungkin tidak apa-apa sekali-sekali tidak menyambut kedatangan Ayah.
Point terakhir ini yang sepertinya paling penting. Dengan melihat prestasi walaupu kecil, kita menjadi lebih tenang.
Dan tadi performansi saya sebenarnya tidak terlalu buruk.
Saya sempat mendengar si sulung berlatih piano dan tepuk tangan. Saya sempat shalat maghrib dengan tenang karena si bungsu dengan suka rela beralih ke suami. Anak nomor dua akhirnya bisa menikmati mengerjakan PR-nya. Si Mbak Suster ternyata sudah tidak meriang. Saya sempat juga bercanda dengan si bungsu, dan dia tertawa geli.
Hidung mampet, sebaiknya cobalah untuk tabah. Bagaimana jika nanti kena penyakit yang lebih parah? Apa akan merasa layak untuk terus berkeluh kesah dan marah-marah? Baru hidung saja yang bermasalah.
Ternyata, malam ini tidak terlalu buruk. Cobalah untuk memaafkan diri sendiri. Walaupun tetap berusaha untuk memperbaiki diri.
Tetap semangaaaat :-)
Sunday, November 7, 2010
Mendidik Calon Jenderal
Kisah ini saya peroleh dari Mbak Neno Warisman, ketika beberapa tahun yang lalu berceramah di kantor saya. Sangat berkesan, sehingga sampai sekarang saya masih ingat. Mohon izin kepada Mbak Neno untuk saya share, semoga banyak yang dapat memperoleh manfaatnya.
Saya mulai ya kisahnya..
Beberapa puluh tahun yang lalu, di sebuah desa di Jawa Tengah, tinggal seorang Ibu dengan seorang anak laki-lakinya, yang bernama Joko (saya lupa-lupa ingat nama sebenarnya).
Sebagaimana pada umumnya rumah di desa, di belakang rumah itu terdapat kandang ayam peliharaan keluarga. Maka di halaman belakang itu berkeliaranlah ayam-ayam, termasuk kotorannya yang menghiasi seluruh penjuru halaman.
Siang itu Joko sedang bermain di halaman belakang, ketika tiba-tiba seekor ayam hinggap dan membuang kotorannya tepat di paha Joko.
Sontak Joko pun menangis, memanggil ibunya yang saat itu sedang memasak di dapur. "Ibuuuu", begitu teriak Joko berulang-ulang sambil menangis merengek, sampai ibunya datang menghampirinya.
"Ada apa Nak? Ibu kan sedang memasak di dapur untuk kita makan siang nanti. Kamu kenapa Nak?", tanya sang Ibu dengan sabar.
"Iniiiiii", kata Joko, masih menangis merengek, sambil menunjuk ke kotoran ayam yang ada pahanya.
"Ooo, ada kotoran ayam ya? Nih, Ibu bersihkan ya", kata sang Ibu sambil menyingkirkan kotoran ayam itu ke tanah halaman.
"Tuh, sudah bersih, menangisnya berhenti ya", kata sang Ibu.
Sang Ibu pun kembali ke dapur, mencuci tangan, untuk kemudian melanjutkan memasak.
Belum selesai Ibu Joko mencuci tangan, terdengar lagi suara Joko.
"Ibuuuuu", teriak Joko lagi, berulang-ulang, sambil menangis merengek lagi.
Sang Ibu pun kembali menghampiri Joko.
"Ada apa lagi Nak? Ada kotoran ayam lagi?" tanya Ibu Joko sambil mencari-cari di mana kotoran ayam itu hinggap kali ini.
"Bukaaan, kembalikan lagi kotoran ayamnyaaa", teriak Joko, sambil menangis merengek.
Ibu normal pasti naik pitam dan langsung menolak permintaan aneh seperti itu. Tapi tidak dengan Ibu Joko. Dengan sabar dia ikuti kemauan anaknya.
"O ya? Mau dikembalikan lagi? Ya sudah, nih, Ibu kembalikan lagi ya." kata Ibu Joko sambil mengambil kembali kotoran ayam tadi dari tanah halaman, dan meletakkannya di paha Joko.
"Sudah ya, sekarang Ibu mau masak lagi." Ibu Joko pun kembali ke dapur, mengulang mencuci tangan, dan bersiap-siap kembali memasak.
Belum sempat Ibu Joko mulai memasak, terdengar lagi suara Joko.
"Ibuuuuu", untuk ketiga kalinya Joko berteriak, berulang-ulang, sambil menangis merengek.
Ibu normal biasanya sudah akan ada dalam posisi sangat naik pitam, meracau sana-sini, kesal, karena berkali-kali dipanggil untuk hal yang tidak penting, di tengah kesibukan yang sedang dilakukan.
Tapi apa yang dilakukan Ibu Joko? Dia tetap sabar, dan kembali menghampiri Joko, sama seperti reaksinya ketika mendengar teriakan Joko yang pertama.
"Lho, ada apa lagi Joko?" tanya sang Ibu dengan tetap tenang.
"Bentuknya kok bedaaaa" teriak Joko, sambil menangis merengek.
Wah, sungguh hal yang mustahil. Bagaimana mungkin mengembalikan kotoran ayam seperti bentuknya semula?
Ibu normal biasanya akan marah besar, dan mulai memberikan ceramah tentang kemustahilan itu.
Apa yang dilakukan Ibu Joko?
Ibu Joko hanya berkata, "Joko, Joko, mudah-mudahan kamu kalau besar nanti jadi Jenderal ya. Dari kecil sudah pintar sekali memberi perintah".
Dan Anda tahu apa yang terjadi pada Joko? Ketika Pak Joko menceritakan kisah ini pada Mbak Neno, beliau sudah menjadi Jenderal bintang tiga. Subhanallah.
Betapa kekuatan kesabaran dan doa seorang Ibu, akan membuahkan hasil yang sangat gemilang di masa depan.
Beberapa hal yang bisa kita petik untuk kita teladani dari Ibu Joko adalah :
1. Sabar, sabar, sabar. Pada dasarnya kita pasti, sekali lagi pasti, bisa untuk tetap bersabar.
2. Cari sisi positif dari hal yang dilakukan anak. Menyalahkan anak seringkali justru menjadi kontra produktif, membuat anak menjadi kurang berani. Hargai semua yang anak lakukan dan inginkan.
3. Berdoa, berdoa, berdoa. Doa adalah harapan. Doa bisa membantu terwujudnya kenyataan. Hati-hati dengan ucapan negatif, karena juga bisa menjadi doa yang buruk.
Semoga kita semua dapat meneladani kesabaran Ibu Joko, dan mendidik anak-anak kita menjadi pemimpin bangsa. Amin :-)
Saya mulai ya kisahnya..
Beberapa puluh tahun yang lalu, di sebuah desa di Jawa Tengah, tinggal seorang Ibu dengan seorang anak laki-lakinya, yang bernama Joko (saya lupa-lupa ingat nama sebenarnya).
Sebagaimana pada umumnya rumah di desa, di belakang rumah itu terdapat kandang ayam peliharaan keluarga. Maka di halaman belakang itu berkeliaranlah ayam-ayam, termasuk kotorannya yang menghiasi seluruh penjuru halaman.
Siang itu Joko sedang bermain di halaman belakang, ketika tiba-tiba seekor ayam hinggap dan membuang kotorannya tepat di paha Joko.
Sontak Joko pun menangis, memanggil ibunya yang saat itu sedang memasak di dapur. "Ibuuuu", begitu teriak Joko berulang-ulang sambil menangis merengek, sampai ibunya datang menghampirinya.
"Ada apa Nak? Ibu kan sedang memasak di dapur untuk kita makan siang nanti. Kamu kenapa Nak?", tanya sang Ibu dengan sabar.
"Iniiiiii", kata Joko, masih menangis merengek, sambil menunjuk ke kotoran ayam yang ada pahanya.
"Ooo, ada kotoran ayam ya? Nih, Ibu bersihkan ya", kata sang Ibu sambil menyingkirkan kotoran ayam itu ke tanah halaman.
"Tuh, sudah bersih, menangisnya berhenti ya", kata sang Ibu.
Sang Ibu pun kembali ke dapur, mencuci tangan, untuk kemudian melanjutkan memasak.
Belum selesai Ibu Joko mencuci tangan, terdengar lagi suara Joko.
"Ibuuuuu", teriak Joko lagi, berulang-ulang, sambil menangis merengek lagi.
Sang Ibu pun kembali menghampiri Joko.
"Ada apa lagi Nak? Ada kotoran ayam lagi?" tanya Ibu Joko sambil mencari-cari di mana kotoran ayam itu hinggap kali ini.
"Bukaaan, kembalikan lagi kotoran ayamnyaaa", teriak Joko, sambil menangis merengek.
Ibu normal pasti naik pitam dan langsung menolak permintaan aneh seperti itu. Tapi tidak dengan Ibu Joko. Dengan sabar dia ikuti kemauan anaknya.
"O ya? Mau dikembalikan lagi? Ya sudah, nih, Ibu kembalikan lagi ya." kata Ibu Joko sambil mengambil kembali kotoran ayam tadi dari tanah halaman, dan meletakkannya di paha Joko.
"Sudah ya, sekarang Ibu mau masak lagi." Ibu Joko pun kembali ke dapur, mengulang mencuci tangan, dan bersiap-siap kembali memasak.
Belum sempat Ibu Joko mulai memasak, terdengar lagi suara Joko.
"Ibuuuuu", untuk ketiga kalinya Joko berteriak, berulang-ulang, sambil menangis merengek.
Ibu normal biasanya sudah akan ada dalam posisi sangat naik pitam, meracau sana-sini, kesal, karena berkali-kali dipanggil untuk hal yang tidak penting, di tengah kesibukan yang sedang dilakukan.
Tapi apa yang dilakukan Ibu Joko? Dia tetap sabar, dan kembali menghampiri Joko, sama seperti reaksinya ketika mendengar teriakan Joko yang pertama.
"Lho, ada apa lagi Joko?" tanya sang Ibu dengan tetap tenang.
"Bentuknya kok bedaaaa" teriak Joko, sambil menangis merengek.
Wah, sungguh hal yang mustahil. Bagaimana mungkin mengembalikan kotoran ayam seperti bentuknya semula?
Ibu normal biasanya akan marah besar, dan mulai memberikan ceramah tentang kemustahilan itu.
Apa yang dilakukan Ibu Joko?
Ibu Joko hanya berkata, "Joko, Joko, mudah-mudahan kamu kalau besar nanti jadi Jenderal ya. Dari kecil sudah pintar sekali memberi perintah".
Dan Anda tahu apa yang terjadi pada Joko? Ketika Pak Joko menceritakan kisah ini pada Mbak Neno, beliau sudah menjadi Jenderal bintang tiga. Subhanallah.
Betapa kekuatan kesabaran dan doa seorang Ibu, akan membuahkan hasil yang sangat gemilang di masa depan.
Beberapa hal yang bisa kita petik untuk kita teladani dari Ibu Joko adalah :
1. Sabar, sabar, sabar. Pada dasarnya kita pasti, sekali lagi pasti, bisa untuk tetap bersabar.
2. Cari sisi positif dari hal yang dilakukan anak. Menyalahkan anak seringkali justru menjadi kontra produktif, membuat anak menjadi kurang berani. Hargai semua yang anak lakukan dan inginkan.
3. Berdoa, berdoa, berdoa. Doa adalah harapan. Doa bisa membantu terwujudnya kenyataan. Hati-hati dengan ucapan negatif, karena juga bisa menjadi doa yang buruk.
Semoga kita semua dapat meneladani kesabaran Ibu Joko, dan mendidik anak-anak kita menjadi pemimpin bangsa. Amin :-)
Kisah Anak Menjual Sapi (3)
Lanjutan kisah dari pengajian Ramadhan dua bulan yang lalu, disampaikan oleh Ust. Adiwarman Karim, tentang seorang ibu solehah dan anaknya yang soleh yang sedang berusaha menjual seekor sapi.
Keesokan paginya, sang Ibu berkata lagi kepada anaknya, ”Nak, tolong kau jualkan sapi ini ke pasar, kau boleh jual 1.000 atau 2.000 dirham.”
Sang anak pun menyanggupi perintah ibunya, dan berangkat menuju ke pasar.
Sampai di lokasi pasar, ternyata hari itu pasar tutup, sehingga sang anak tidak lagi bisa berjualan.
Sambil menuju pulang, sang anak berjumpa dengan seorang lelaki.
Sang lelaki yang rupanya adalah setan yang sedang menyamar, berkata kepada sang anak, ”Nak, apakah akan kau jual sapi itu?”
Sang anak pun berkata kepada lelaki tersebut, ”Ibu meminta saya untuk menjual sapi ini kepada Bapak seharga 1.000 atau 2.000 dirham”
Lelaki itu pun berkata, ”Nak, kulihat kau sudah 3 kali bolak balik dari rumahmu yang jauh ke pasar ini. Bagaimana jika kautawarkan kepadamu suatu hal. Kubeli sapi ini seharga 2.000 dirham, tapi kausampaikan kepada ibumu, bahwa terjual seharga 1.000 dirham. 1.000 dirham lagi kauambil untukmu sendiri.”
Sang anak, dengan keterbatasan pikirnya, menjawab, ”Tidak Pak. Bagaimana mungkin aku akan membohongi ibuku yang sudah melahirkan dan membesarkanku?”
Dan iapun kembali ke rumah, bersama sapi yang belum juga terjual.
Pulanglah sang anak ke rumahnya. Ibunya terkejut melihat sapinya belum terjual. Dia pun bertanya, mengapa hal itu bisa terjadi, dan apakah memang tidak ada orang yang bersedia membeli sapi mereka.
Maka berkatalah sang anak, ”Ibu, hari ini pasar tutup maka aku tidak bisa berjualan ke pasar. Di perjalanan pulang, sebenarnya aku berjumpa dengan seorang Bapak yang bersedia membeli sapi ini seharga 2.000 dirham. Namun ia memintaku untuk membohongimu, dan berkata bahwa sapi ini terjual 1.000 dirham, dan mengambil 1.000 dirham untukku sendiri. Bagaimana mungkin aku akan membohongi Ibu yang sudah melahirkan dan membesarkanku?”
Sang Ibu yang soleh pun terharu, dan berkata, ”It’s OK my son. Besok kau coba jual lagi ya Nak.”
Bertepatan dengan saat itu, datanglah sekelompok orang ke rumah tersebut. Kelompok orang ini ternyata adalah Bani Israil yang sedang mencari sapi betina. Sapi ini ternyata sangat cocok dengan yang mereka cari. Maka mereka pun membeli sapi itu seharga emas seberat sapi tersebut.
Subhanallah. Kesalihan, ketaatan, dan kesabaran yang membuahkan hasil gemilang.
Keesokan paginya, sang Ibu berkata lagi kepada anaknya, ”Nak, tolong kau jualkan sapi ini ke pasar, kau boleh jual 1.000 atau 2.000 dirham.”
Sang anak pun menyanggupi perintah ibunya, dan berangkat menuju ke pasar.
Sampai di lokasi pasar, ternyata hari itu pasar tutup, sehingga sang anak tidak lagi bisa berjualan.
Sambil menuju pulang, sang anak berjumpa dengan seorang lelaki.
Sang lelaki yang rupanya adalah setan yang sedang menyamar, berkata kepada sang anak, ”Nak, apakah akan kau jual sapi itu?”
Sang anak pun berkata kepada lelaki tersebut, ”Ibu meminta saya untuk menjual sapi ini kepada Bapak seharga 1.000 atau 2.000 dirham”
Lelaki itu pun berkata, ”Nak, kulihat kau sudah 3 kali bolak balik dari rumahmu yang jauh ke pasar ini. Bagaimana jika kautawarkan kepadamu suatu hal. Kubeli sapi ini seharga 2.000 dirham, tapi kausampaikan kepada ibumu, bahwa terjual seharga 1.000 dirham. 1.000 dirham lagi kauambil untukmu sendiri.”
Sang anak, dengan keterbatasan pikirnya, menjawab, ”Tidak Pak. Bagaimana mungkin aku akan membohongi ibuku yang sudah melahirkan dan membesarkanku?”
Dan iapun kembali ke rumah, bersama sapi yang belum juga terjual.
Pulanglah sang anak ke rumahnya. Ibunya terkejut melihat sapinya belum terjual. Dia pun bertanya, mengapa hal itu bisa terjadi, dan apakah memang tidak ada orang yang bersedia membeli sapi mereka.
Maka berkatalah sang anak, ”Ibu, hari ini pasar tutup maka aku tidak bisa berjualan ke pasar. Di perjalanan pulang, sebenarnya aku berjumpa dengan seorang Bapak yang bersedia membeli sapi ini seharga 2.000 dirham. Namun ia memintaku untuk membohongimu, dan berkata bahwa sapi ini terjual 1.000 dirham, dan mengambil 1.000 dirham untukku sendiri. Bagaimana mungkin aku akan membohongi Ibu yang sudah melahirkan dan membesarkanku?”
Sang Ibu yang soleh pun terharu, dan berkata, ”It’s OK my son. Besok kau coba jual lagi ya Nak.”
Bertepatan dengan saat itu, datanglah sekelompok orang ke rumah tersebut. Kelompok orang ini ternyata adalah Bani Israil yang sedang mencari sapi betina. Sapi ini ternyata sangat cocok dengan yang mereka cari. Maka mereka pun membeli sapi itu seharga emas seberat sapi tersebut.
Subhanallah. Kesalihan, ketaatan, dan kesabaran yang membuahkan hasil gemilang.
Kisah Anak Menjual Sapi (2)
Lanjutan kisah dari pengajian Ramadhan dua bulan yang lalu, disampaikan oleh Ust. Adiwarman Karim, tentang seorang ibu solehah dan anaknya yang soleh yang berusaha menjual seekor sapi.
Keesokan paginya, sang Ibu berkata lagi kepada anaknya, ”Nak, tolong kau jualkan sapi ini, seharga 2.000 dirham, kepada orang yang kautemui kemarin, atau ke pasar.”
Sang anak pun menyanggupi perintah ibunya, dan berangkat menuju ke pasar.
Dalam perjalanan menuju ke pasar, sang anak berjumpa dengan seorang lelaki yang kemarin.
Sang anak pun berkata kepada lelaki tersebut, ”Pak, Ibu meminta saya untuk menjual sapi ini kepada Bapak seharga 2.000 dirham yang Bapak minta kemarin. Apakah Bapak bersedia?”
Lelaki itu pun berkata, ”Wah, maaf Nak. Kemarin aku sudah membeli sapi. Tapi kau coba saja jual sapimu itu ke pasar.”
Sang anak pun melanjutkan perjalanannya ke pasar. Di pasar, harga sapi 2.000 dirham tersebut tentunya berada di atas harga normal, maka orang tidak ada yang bersedia membelinya, kecuali dengan harga 1.000 dirham. Dan sang anak tidak bersedia menjual sapinya di harga tersebut.
Sampai tibalah sore hari, sapi itu tidak berhasil terjual.
Pulanglah sang anak ke rumahnya. Ibunya terkejut melihat sapinya belum terjual. Dia pun bertanya, mengapa hal itu bisa terjadi, dan apakah memang tidak ada orang yang bersedia membeli sapi mereka.
Maka berkatalah sang anak, ”Ibu, Bapak yang kemarin sudah tidak lagi membutuhkan sapi. Di pasar, ada orang yang mau membeli sapi kita. Tapi harga yang mereka minta adalah 1.000 dirham. Padahal Ibu memintaku untuk menjual seharga 2.000 dirham. Maka sapi ini tidak aku jual.”
Sekali lagi, Ibu yang soleh ini tidak marah, dia berkata, ”It’s OK my son. Besok kau coba jual lagi ya Nak.”
-- bersambung --
Keesokan paginya, sang Ibu berkata lagi kepada anaknya, ”Nak, tolong kau jualkan sapi ini, seharga 2.000 dirham, kepada orang yang kautemui kemarin, atau ke pasar.”
Sang anak pun menyanggupi perintah ibunya, dan berangkat menuju ke pasar.
Dalam perjalanan menuju ke pasar, sang anak berjumpa dengan seorang lelaki yang kemarin.
Sang anak pun berkata kepada lelaki tersebut, ”Pak, Ibu meminta saya untuk menjual sapi ini kepada Bapak seharga 2.000 dirham yang Bapak minta kemarin. Apakah Bapak bersedia?”
Lelaki itu pun berkata, ”Wah, maaf Nak. Kemarin aku sudah membeli sapi. Tapi kau coba saja jual sapimu itu ke pasar.”
Sang anak pun melanjutkan perjalanannya ke pasar. Di pasar, harga sapi 2.000 dirham tersebut tentunya berada di atas harga normal, maka orang tidak ada yang bersedia membelinya, kecuali dengan harga 1.000 dirham. Dan sang anak tidak bersedia menjual sapinya di harga tersebut.
Sampai tibalah sore hari, sapi itu tidak berhasil terjual.
Pulanglah sang anak ke rumahnya. Ibunya terkejut melihat sapinya belum terjual. Dia pun bertanya, mengapa hal itu bisa terjadi, dan apakah memang tidak ada orang yang bersedia membeli sapi mereka.
Maka berkatalah sang anak, ”Ibu, Bapak yang kemarin sudah tidak lagi membutuhkan sapi. Di pasar, ada orang yang mau membeli sapi kita. Tapi harga yang mereka minta adalah 1.000 dirham. Padahal Ibu memintaku untuk menjual seharga 2.000 dirham. Maka sapi ini tidak aku jual.”
Sekali lagi, Ibu yang soleh ini tidak marah, dia berkata, ”It’s OK my son. Besok kau coba jual lagi ya Nak.”
-- bersambung --
Kisah Anak Menjual Sapi (1)
Dari pengajian Ramadhan dua bulan yang lalu, disampaikan oleh Ust. Adiwarman Karim. Mudah-mudahan beliau berkenan kisah ini saya tuliskan. Saya coba tuliskan sejauh yang saya ingat :-)
Ada dua kisah yang disampaikan oleh beliau.
Kisah pertama tentang Bani Israil dan pertanyaan-pertanyaannya kepada Allah melalui Nabi Musa, tentang perintah mencari sapi betina (Al Baqarah 67-71).
Kisah kedua, tentang seorang ibu solehah dan anaknya yang soleh, yang sedang berusaha menjual seekor sapi.
Dikisahkan ibu dan anak ini hanya tinggal berdua saja di sebuah dusun. Sang anak, walaupun soleh, sedikit kurang pintar. Satu-satunya harta milik mereka saat itu adalah seekor sapi. Karena membutuhkan uang, maka sang ibu meminta anaknya untuk menjualkan sapi mereka ke pasar.
Sang Ibu berkata pada anaknya, ”Nak, tolong kau jualkan sapi ini ke pasar, seharga 1.000 dirham.”
Sang anak pun menyanggupi perintah ibunya, dan berangkat menuju ke pasar.
Dalam perjalanan menuju ke pasar, sang anak berjumpa dengan seorang lelaki. Melihat sapi yang sangat bagus tersebut, lelaki itu pun ingin membelinya.
Bertanyalah ia kepada sang anak, ”Nak, hendak ke manakah engkau. Sapi yang kaubawa itu, apakah akan kaujual?”
Sang anak pun menjawab, ”Saya hendak ke pasar Pak. Ya, sapi ini akan saya jual, atas perintah ibu saya.”
Lelaki itu pun berkata lagi, ”Sapimu bagus sekali Nak. Begini, kau tidak perlu ke pasar, aku akan beli sapimu seharga 2.000 dirham.”
Sang anak, dengan keterbatasan kemampuan berpikirnya menjawab, ”Maaf Pak, sapi ini diperintahkan ibu saya untuk dijual seharga 1.000 dirham, saya tidak akan menjualnya seharga 2.000 dirham. Biarlah saya tetap jual di pasar.”
Dengan kebingungan, sang lelaki pun membiarkan sang anak meneruskan perjalanannya ke pasar. Di pasar, berita telah tersiar bahwa sapi tersebut tidak dapat dibeli seharga 2.000 dirham, maka orang pun menawar lebih tinggi, dan sang anak pun semakin tidak bersedia menjual.
Sampai tibalah sore hari, sapi itu tidak berhasil terjual.
Pulanglah sang anak ke rumahnya. Ibunya terkejut melihat sapinya belum terjual. Dia pun bertanya, mengapa hal itu bisa terjadi, dan apakah memang tidak ada orang yang bersedia membeli sapi mereka.
Maka berkatalah sang anak, ”Ibu, sebenarnya tadi ada orang yang mau membeli sapi kita. Tapi harga yang ia minta adalah 2.000 dirham. Padahal Ibu memintaku untuk menjual seharga 1.000 dirham. Maka sapi ini tidak aku jual padanya.”
Ibu yang soleh ini tidak marah, dia berkata (sesuai yang disampaikan Ust. Adiwarman secara kocak) ”It’s OK my son. Besok kau coba jual lagi ya Nak.”
-- bersambung --
Ada dua kisah yang disampaikan oleh beliau.
Kisah pertama tentang Bani Israil dan pertanyaan-pertanyaannya kepada Allah melalui Nabi Musa, tentang perintah mencari sapi betina (Al Baqarah 67-71).
Kisah kedua, tentang seorang ibu solehah dan anaknya yang soleh, yang sedang berusaha menjual seekor sapi.
Dikisahkan ibu dan anak ini hanya tinggal berdua saja di sebuah dusun. Sang anak, walaupun soleh, sedikit kurang pintar. Satu-satunya harta milik mereka saat itu adalah seekor sapi. Karena membutuhkan uang, maka sang ibu meminta anaknya untuk menjualkan sapi mereka ke pasar.
Sang Ibu berkata pada anaknya, ”Nak, tolong kau jualkan sapi ini ke pasar, seharga 1.000 dirham.”
Sang anak pun menyanggupi perintah ibunya, dan berangkat menuju ke pasar.
Dalam perjalanan menuju ke pasar, sang anak berjumpa dengan seorang lelaki. Melihat sapi yang sangat bagus tersebut, lelaki itu pun ingin membelinya.
Bertanyalah ia kepada sang anak, ”Nak, hendak ke manakah engkau. Sapi yang kaubawa itu, apakah akan kaujual?”
Sang anak pun menjawab, ”Saya hendak ke pasar Pak. Ya, sapi ini akan saya jual, atas perintah ibu saya.”
Lelaki itu pun berkata lagi, ”Sapimu bagus sekali Nak. Begini, kau tidak perlu ke pasar, aku akan beli sapimu seharga 2.000 dirham.”
Sang anak, dengan keterbatasan kemampuan berpikirnya menjawab, ”Maaf Pak, sapi ini diperintahkan ibu saya untuk dijual seharga 1.000 dirham, saya tidak akan menjualnya seharga 2.000 dirham. Biarlah saya tetap jual di pasar.”
Dengan kebingungan, sang lelaki pun membiarkan sang anak meneruskan perjalanannya ke pasar. Di pasar, berita telah tersiar bahwa sapi tersebut tidak dapat dibeli seharga 2.000 dirham, maka orang pun menawar lebih tinggi, dan sang anak pun semakin tidak bersedia menjual.
Sampai tibalah sore hari, sapi itu tidak berhasil terjual.
Pulanglah sang anak ke rumahnya. Ibunya terkejut melihat sapinya belum terjual. Dia pun bertanya, mengapa hal itu bisa terjadi, dan apakah memang tidak ada orang yang bersedia membeli sapi mereka.
Maka berkatalah sang anak, ”Ibu, sebenarnya tadi ada orang yang mau membeli sapi kita. Tapi harga yang ia minta adalah 2.000 dirham. Padahal Ibu memintaku untuk menjual seharga 1.000 dirham. Maka sapi ini tidak aku jual padanya.”
Ibu yang soleh ini tidak marah, dia berkata (sesuai yang disampaikan Ust. Adiwarman secara kocak) ”It’s OK my son. Besok kau coba jual lagi ya Nak.”
-- bersambung --
Mungil itu (seolah-olah) Muda :-)
Saya ditakdirkan bertubuh mungil. Sejak TK sampai sekarang sudah menjadi ibu, saya relatif (atau absolut ya hehe..) lebih mungil (kalau disebut pendek kurang keren) dari teman-teman sebaya. Candaan ”semampai – semeter tak sampai” dan”duduk sama rendah, berdiri sama saja” sudah menjadi santapan sehari-hari :-)
Dan ternyata, jadi mungil itu asyik juga lho. Orang jadi sering menyangka saya berumur jauh lebih muda dari yang sebenarnya.
Di tempat umum ketika saya datang sendirian, biasanya orang menyangka saya belum menikah. Biasanya mereka akan sedikit terkejut ketika saya sampaikan saya sudah menikah. Kemudian akan makin terkejut ketika saya bilang sudah punya anak. Lalu mereka akan terkejut luar biasa ketika saya sampaikan bahwa anak saya sudah 3 orang :-)
Di tempat-tempat ketika saya hanya berdua suami, biasanya orang menyangka kami pasangan newly-wed. Pas kebetulan suami saya juga baby face :-)
Kalau saya pergi hanya membawa anak yang bungsu yang berusia dua tahun, biasanya orang menyangka itulah anak pertama saya. Padahal dua kakaknya sudah SD :-)
Yang paling dahsyat, waktu saya ke sekolah anak saya, mau mendaftarkan anak saya ke TK. Saat itu memang saya sedang berkostum santai. Rok jeans, sepatu kets, baju kaus tangan panjang. Saya masuk ke ruang administrasi pendaftaran TK.
Apa sambutan dari petugas administrasi? ”Maaf Dik, pendaftaran SMP di ruang yang sebelah sana!”
Bwahaahaaha.. saya diaggap anak yang mau daftar SMP! Setelah saya jelaskan, baru petugas itu menyambut saya sebagai orang tua murid TK :-)
Pengalaman-pengalaman tersebut membuat saya tetap gembira dengan kemungilan ini. Alhamdulillah, selalu ada hal yang bisa disyukuri :-)
Dan ternyata, jadi mungil itu asyik juga lho. Orang jadi sering menyangka saya berumur jauh lebih muda dari yang sebenarnya.
Di tempat umum ketika saya datang sendirian, biasanya orang menyangka saya belum menikah. Biasanya mereka akan sedikit terkejut ketika saya sampaikan saya sudah menikah. Kemudian akan makin terkejut ketika saya bilang sudah punya anak. Lalu mereka akan terkejut luar biasa ketika saya sampaikan bahwa anak saya sudah 3 orang :-)
Di tempat-tempat ketika saya hanya berdua suami, biasanya orang menyangka kami pasangan newly-wed. Pas kebetulan suami saya juga baby face :-)
Kalau saya pergi hanya membawa anak yang bungsu yang berusia dua tahun, biasanya orang menyangka itulah anak pertama saya. Padahal dua kakaknya sudah SD :-)
Yang paling dahsyat, waktu saya ke sekolah anak saya, mau mendaftarkan anak saya ke TK. Saat itu memang saya sedang berkostum santai. Rok jeans, sepatu kets, baju kaus tangan panjang. Saya masuk ke ruang administrasi pendaftaran TK.
Apa sambutan dari petugas administrasi? ”Maaf Dik, pendaftaran SMP di ruang yang sebelah sana!”
Bwahaahaaha.. saya diaggap anak yang mau daftar SMP! Setelah saya jelaskan, baru petugas itu menyambut saya sebagai orang tua murid TK :-)
Pengalaman-pengalaman tersebut membuat saya tetap gembira dengan kemungilan ini. Alhamdulillah, selalu ada hal yang bisa disyukuri :-)
Friday, November 5, 2010
Bersyukur Mantab
Bersyukur intinya adalah berpikir positif. Yakin bahwa ketentuan Allah yang terjadi adalah yang terbaik. Bahwa kondisi yang kita alami bisa jauh lebih buruk. Kali ini kita coba bahas untuk masalah keuangan.
Fenomena orang gajian saat ini adalah, begitu gajian, langsung uangnya habis, untuk bayar berbagai tagihan. Sehingga ada ungkapan ”Gajian mah cuma numpang lewat doang”.
Sesungguhnya walaupun ”Cuma numpang lewat”, kita sungguh harus bersyukur. Bahwa masih ada yang ”lewat”, artinya masih ada sumber pendapatan untuk membayar semua tagihan-tagihan yang datang.
Kondisinya bisa lebih parah.
Jumlah tagihan lebih besar daripada gaji yang masuk. Besar pasak daripada tiang. Pada tahap ini, ada kalanya muncul keluhan ”Haduh sudah mulai mantab nih hidup, makan tabungan”.
Sesungguhnya walaupun ”Mantab”, kita sungguh harus bersyukur. Bahwa masih ada tabungan yang bisa kita gunakan. Bukankah tabungan memang digunakan ketika diperlukan?
Kondisinya bisa lebih parah.
Lebih besar pasak daripada tiang, dan tidak ada tabungan. ”Mesti ngutang terus sama tetangga”.
Sesungguhnya walaupun harus ngutang, kita sungguh harus bersyukur. Bahwa masih ada orang yang bersedia kita hutangi. Bukankah itu artinya kita masih dipercaya bahwa akan membayar?
Kondisinya bisa lebih parah.
Lebih besar pasak daripada tiang, tidak ada tabungan, tidak ada lagi orang yang mau menghutangi.
Namun, sesungguhnya dalam kondisi inipun kita harus tetap bersyukur, karena kita masih punya penghasilan. Mungkin kita harus evaluasi lagi penggunaannya agar bisa mencukupi.
Kondisinya bisa lebih parah.
Tidak ada sumber penghasilan, tidak ada tabungan, tidak ada lagi orang yang mau menghutangi. Hidup menunggu belas kasihan. Kondisi yang sangat sulit. Dibutuhkan kekuatan luar biasa, agar bisa bangkit dan kembali mandiri.
Kembali ke kondisi kita masing-masing. Di manakah kita saat ini?
Bersyukurlah, bersyukurlah, bersyukurlah. Barang siapa bersyukur, maka Allah akan tambahkan. Barangsiapa kufur (tidak bersyukur) maka sesungguhnya azab Allah sangat pedih.
Dengan bersyukur hidup akan terasa lebih tenang. Dan Allah akan tambahkan rezeki dari arah yang tidak kita sangka-sangka.
Kalaupun kita dalam kesulitan keuangan, sesungguhnya masih banyak aspek lain yang dapat kita syukuri. Keluarga, kesehatan, dan yang terpenting adalah keislaman kita (bagi yang muslim).
Namun tentunya, di sisi lain, kita tetap harus melakukan evaluasi atas pengeluaran kita. Jangan-jangan memang ada kesalahan prioritas dalam kita membelanjakan uang kita. Pada dasarnya Allah berikan rezeki yang cukup. Jika dirasa tidak cukup, seharusnya bisa dicukup-cukupkan. Mungkin harus kita turunkan beberapa standar kehidupan kita.
Mari kita perbanyak bersyukur. Bersyukur sepanjang waktu.
Fenomena orang gajian saat ini adalah, begitu gajian, langsung uangnya habis, untuk bayar berbagai tagihan. Sehingga ada ungkapan ”Gajian mah cuma numpang lewat doang”.
Sesungguhnya walaupun ”Cuma numpang lewat”, kita sungguh harus bersyukur. Bahwa masih ada yang ”lewat”, artinya masih ada sumber pendapatan untuk membayar semua tagihan-tagihan yang datang.
Kondisinya bisa lebih parah.
Jumlah tagihan lebih besar daripada gaji yang masuk. Besar pasak daripada tiang. Pada tahap ini, ada kalanya muncul keluhan ”Haduh sudah mulai mantab nih hidup, makan tabungan”.
Sesungguhnya walaupun ”Mantab”, kita sungguh harus bersyukur. Bahwa masih ada tabungan yang bisa kita gunakan. Bukankah tabungan memang digunakan ketika diperlukan?
Kondisinya bisa lebih parah.
Lebih besar pasak daripada tiang, dan tidak ada tabungan. ”Mesti ngutang terus sama tetangga”.
Sesungguhnya walaupun harus ngutang, kita sungguh harus bersyukur. Bahwa masih ada orang yang bersedia kita hutangi. Bukankah itu artinya kita masih dipercaya bahwa akan membayar?
Kondisinya bisa lebih parah.
Lebih besar pasak daripada tiang, tidak ada tabungan, tidak ada lagi orang yang mau menghutangi.
Namun, sesungguhnya dalam kondisi inipun kita harus tetap bersyukur, karena kita masih punya penghasilan. Mungkin kita harus evaluasi lagi penggunaannya agar bisa mencukupi.
Kondisinya bisa lebih parah.
Tidak ada sumber penghasilan, tidak ada tabungan, tidak ada lagi orang yang mau menghutangi. Hidup menunggu belas kasihan. Kondisi yang sangat sulit. Dibutuhkan kekuatan luar biasa, agar bisa bangkit dan kembali mandiri.
Kembali ke kondisi kita masing-masing. Di manakah kita saat ini?
Bersyukurlah, bersyukurlah, bersyukurlah. Barang siapa bersyukur, maka Allah akan tambahkan. Barangsiapa kufur (tidak bersyukur) maka sesungguhnya azab Allah sangat pedih.
Dengan bersyukur hidup akan terasa lebih tenang. Dan Allah akan tambahkan rezeki dari arah yang tidak kita sangka-sangka.
Kalaupun kita dalam kesulitan keuangan, sesungguhnya masih banyak aspek lain yang dapat kita syukuri. Keluarga, kesehatan, dan yang terpenting adalah keislaman kita (bagi yang muslim).
Namun tentunya, di sisi lain, kita tetap harus melakukan evaluasi atas pengeluaran kita. Jangan-jangan memang ada kesalahan prioritas dalam kita membelanjakan uang kita. Pada dasarnya Allah berikan rezeki yang cukup. Jika dirasa tidak cukup, seharusnya bisa dicukup-cukupkan. Mungkin harus kita turunkan beberapa standar kehidupan kita.
Mari kita perbanyak bersyukur. Bersyukur sepanjang waktu.
Subscribe to:
Posts (Atom)