Buat Moms yang mau melahirkan, selamat yaa.. Semoga lancar, anak dan ibunya sehat..
Wah, pasti lagi semangat banget ya.. plus harap-harap cemas, gimana nanti rasanya punya bayi.. :-) Seru kok Moms.. Menyenangkan (meskipun lelah) dan takkan terlupakan.. Dan melihat bayi kita tertidur pulas, adalah pemandangan yang paling indah di dunia.. :-)
Aku coba buat daftar belanja buat persiapan menyambut bayi baru.. Sebagai referensi saja, jumlahnya silakan disesuaikan dengan kondisi masing-masing.. Belanjanya, aku sendiri belanja online, xixixi, udah males pergi-pergi dengan perut gendut :-D
Oya, informasi aja, aku nggak pakaikan bayiku bedak, lotion, karena anakku alergi :-)
Kita mulai yaa..
Untuk bayi - baju dan teman2nya :
12 baju tangan pendek (kancing depan)
6 baju tangan panjang (kancing depan)
6 baju tangan buntung (kancing depan, untuk pengganti kaus dalam,dipasang dengan kancing di belakang)
12 celana pendek
6 celana panjang
12 Sarung kaki (sarung kaki lebih banyak, karena biasanya ikut basah ketika bayi pipis)
6 Sarung tangan
6 Topi (terutama dipakai jika bayi baru dicukur habis)
24 Popok segi empat
10 Popok plastik (pelapis popok segi empat supaya tidak tembus)
6 Cloth diaper
12 Bedong
6 Gurita (beberapa menyarankan tidak usah)
2 Selimut
1 Selimut kepala
2 Perlak kecil (20x30 cm, untuk ganti2 popok)
2 Perlak karet besar (untuk alas bak mandi dan alas setelah mandi)
2 Perlak plastik berlapis kain (alas tidur, supaya pipis tidak tembus ke kasur)
Untuk bayi - perlengkapan pendukung :
1 Tas kecil
1 Tas besar
1 Gendongan
1 Gunting kuku bayi
1 Sikat gigi bayi (buat nanti kalau sudah ada gigi, kalau belum pakai kain kasa yang direndam air hangat)
Minyak telon
Kapas bulat (bisa dari kapas kiloan, yang dibuat sendiri jadi bulat2, direndam air hangat, untuk pembersih bayi setelah pipis/pup, jangan gunakan tisu basah)
1 Tempat kapas basah
2 Kain kasa (untuk pembungkus pusar sebelum puput, beberapa RS memberikan alcohol swab)
Alkohol (untuk pusar sebelum puput)
Sabun bayi
Sampo bayi
6 Waslap
2 Handuk
6 Handuk kecil / sapu tangan
6 Alas makan (yang buat di dada itu loh moms, bayi kan makannya suka tumpah2)
1 set alat makan bayi
Buat bayi - peralatan yang agak besar :
1 Bak mandi
1 Keranjang baju
1 Jemuran baju
1 Kereta dorong
2 Ember kecil (untuk meletakkan baju kotor di kamar)
1 Box bayi
1 Keranjang bayi
1 Kursi makan (buat nanti kalau sudah bisa makan)
1 Bantal guling kecil
2 Bantal bolong / bantal peyang
2 Sarung bantal guling
Buat Ibu :
Pembalut (untuk nifas, pakai pembalut kain ya Moms, go green :-))
Kain
Gurita
Bra menyusui
Breast pad (ada yang dari kain juga)
Buat Ibu Bekerja ASI Eksklusif jalan terus yaaa :
Breast Pump (kalau nggak sukses pemerahan manual)
30 Botol ASIP (tergantung hasil perahan)
1 cooler bag
1 ice pack
1 pack label kecil (untuk menandai jam ASIP)
Demikian ya Moms, semoga bermanfaat, selamat berbelanja dan menikmati hari-hari bersama bayi baru :-)
Thursday, February 24, 2011
Inspirasi Satu Jam
Pagi ini saya menerima pesan dari seorang teman, bagus sekali. Saya copy paste di sini ya.
Kepada penulis awalnya, saya mohon izin ya, karena saya tidak memperoleh informasi penulis awalnya. Oya saya edit sedikit beberapa katanya supaya sesuai dengan yang saya suka :-)
Selamat terinspirasi.. :-)
Inspirasi Satu Jam
(Dialog kecil mempunyai arti besar )
Suatu hari seorang anak kecil datang kepada ayahnya dan bertanya :
"Apakah kita bisa hidup tidak berdosa selama hidup kita...?"
Ayahnya memandang kepada anak kecil itu dan berkata :
"Tidak, Nak..."
Putri kecil ini kemudian memandang ayahnya dan berkata lagi...
"Apakah kita bisa hidup tanpa berdosa dalam setahun...?"
Ayahnya kembali menggelengkan kepalanya, sambil tersenyum kepada putrinya.
"Oh Ayah, bagaimana kalau 1 bulan, apakah kita bisa hidup tanpa melakukan kesalahan...?"
Ayahnya tertawa...
"Mungkin tidak bisa juga, Nak..."
"OK Ayah, ini yang terakhir kali... Apakah kita bisa hidup tidak berdosa dalam 1 jam saja...?"
Akhirnya ayahnya mengangguk.
"Kemungkinan besar, bisa, Nak..."
Anak ini tersenyum lega...
"Jika demikian, aku akan hidup benar dari jam ke jam, Ayah...
Lebih mudah menjalaninya, dan aku akan menjaganya dari jam ke jam, sehingga aku dapat hidup dengan benar... "
Pernyataan ini mengandung kebenaran sejati...
Marilah kita hidup dari waktu ke waktu, dengan memperhatikan cara kita menjalani hidup ini...
Dari latihan yang paling kecil dan sederhana sekalipun...
Akan menjadikan kita terbiasa...
Dan apa yang sudah biasa kita lakukan akan menjadi sifat...
Dan sifat akan berubah jadi karakter...
Dan karakter akan menjadi destiny...
Hiduplah 1 jam tanpa :
Tanpa kemarahan,
Tanpa hati yang jahat,
Tanpa pikiran negatif,
Tanpa menjelekkan orang,
Tanpa keserakahan,
Tanpa pemborosan,
Tanpa kesombongan,
Tanpa kebohongan,
Tanpa kepalsuan...
Lalu ulangi lagi untuk 1 jam berikutnya...
Hiduplah 1 Jam Dengan :
Dengan kasih sayang kepada sesama...
Dengan damai,
Dengan kesabaran,
Dengan kelemah lembutan,
Dengan kemurahan hati,
Dengan kerendahan hati..
Dengan ketulusan kita belajar dari sekarang...
Semoga kita bisa memulainya ....
Aamiin..
Kepada penulis awalnya, saya mohon izin ya, karena saya tidak memperoleh informasi penulis awalnya. Oya saya edit sedikit beberapa katanya supaya sesuai dengan yang saya suka :-)
Selamat terinspirasi.. :-)
Inspirasi Satu Jam
(Dialog kecil mempunyai arti besar )
Suatu hari seorang anak kecil datang kepada ayahnya dan bertanya :
"Apakah kita bisa hidup tidak berdosa selama hidup kita...?"
Ayahnya memandang kepada anak kecil itu dan berkata :
"Tidak, Nak..."
Putri kecil ini kemudian memandang ayahnya dan berkata lagi...
"Apakah kita bisa hidup tanpa berdosa dalam setahun...?"
Ayahnya kembali menggelengkan kepalanya, sambil tersenyum kepada putrinya.
"Oh Ayah, bagaimana kalau 1 bulan, apakah kita bisa hidup tanpa melakukan kesalahan...?"
Ayahnya tertawa...
"Mungkin tidak bisa juga, Nak..."
"OK Ayah, ini yang terakhir kali... Apakah kita bisa hidup tidak berdosa dalam 1 jam saja...?"
Akhirnya ayahnya mengangguk.
"Kemungkinan besar, bisa, Nak..."
Anak ini tersenyum lega...
"Jika demikian, aku akan hidup benar dari jam ke jam, Ayah...
Lebih mudah menjalaninya, dan aku akan menjaganya dari jam ke jam, sehingga aku dapat hidup dengan benar... "
Pernyataan ini mengandung kebenaran sejati...
Marilah kita hidup dari waktu ke waktu, dengan memperhatikan cara kita menjalani hidup ini...
Dari latihan yang paling kecil dan sederhana sekalipun...
Akan menjadikan kita terbiasa...
Dan apa yang sudah biasa kita lakukan akan menjadi sifat...
Dan sifat akan berubah jadi karakter...
Dan karakter akan menjadi destiny...
Hiduplah 1 jam tanpa :
Tanpa kemarahan,
Tanpa hati yang jahat,
Tanpa pikiran negatif,
Tanpa menjelekkan orang,
Tanpa keserakahan,
Tanpa pemborosan,
Tanpa kesombongan,
Tanpa kebohongan,
Tanpa kepalsuan...
Lalu ulangi lagi untuk 1 jam berikutnya...
Hiduplah 1 Jam Dengan :
Dengan kasih sayang kepada sesama...
Dengan damai,
Dengan kesabaran,
Dengan kelemah lembutan,
Dengan kemurahan hati,
Dengan kerendahan hati..
Dengan ketulusan kita belajar dari sekarang...
Semoga kita bisa memulainya ....
Aamiin..
Wednesday, February 23, 2011
Ujian Ikhlas
Dalam bahasa Indonesia, ikhlas didefinisikan sebagai rasa tulus, tanpa pamrih, tanpa mengharapkan balas jasa dan penghargaan. Biasanya dalam percakapan, sering diucapkan, "Bener nih, ikhlas ya?", dan jawabannya, "Iya bener kok, saya ikhlas."
Dalam Islam, definisi ini cukup relevan, hanya perlu sedikit tambahan. Yaitu, rasa tulus, tanpa pamrih, tanpa mengharap balas jasa dan penghargaan dari sesama manusia. Rasa bahwa kita melakukan sesuatu hanya untuk Allah, hanya mengharapkan ridha-Nya. Jika dilandasi dengan ikhlas, kita melakukan sesuatu karena yakin hal itu adalah hal yang benar, yang akan membawa kita kepada ridha Allah.
Karena itu, dalam konteks ikhlas dalam Islam, pertanyaan tadi, "Bener nih, ikhlas ya?" akan menjadi pertanyaan yang tidak perlu dijawab, karena jika kita benar-benar ikhlas, melakukan itu karena Allah, bagi kita hanya Allah yang perlu mengetahui kepastiannya.
Dengan landasan ikhlas, kita tidak memerlukan apresiasi dari siapa pun. Reaksi orang lain, baik itu memuji ataupun mencela, menyalahkan atau membenarkan, tidak mempengaruhi keberlanjutan apa yang kita lakukan.
Pujian dan apresiasi cukup dibalas dengan ucapan terima kasih, sebagai penghargaan atas kebaikan hati orang itu. Tetapi dalam hati kita, pujian itu dikembalikan kepada Allah, yang telah membimbing kita selama melakukan hal tersebut. Segala puji hanya bagi-Nya.
Kritik dan celaan diterima tidak menjadikan kita frustasi, tetapi kita anggap sebagai masukan bahwa memang masih banyak hal yang perlu diperbaiki.
Kita tidak akan pernah merasa putus asa, karena kita berorientasi pada proses, hasil akhir bukan di dunia, kita selalu masih bisa melakukan sesuatu.
Kita juga tidak akan pernah menuntut. Tidak akan ada ucapan, "Aku kan sudah buat ini, harusnya kamu begini dong". Kalaupun kita meminta seseorang melakukan sesuatu, tidak lain adalah untuk kebaikan orang itu sendiri.
Kita tidak akan pernah merasa kecewa di dunia, karena memang kita tidak mensasar suatu target. Target di dunia kita jadikan standar kualitas proses, semata-mata untuk memastikan bahwa kita telah melakukan hal yang benar secara hukum alam di dunia.
Namun, ikhlas bukan berarti pasrah dan tidak produktif. Ikhlas justru membuat seseorang ingin terus beramal, berkarya, untuk Dia yang diharapkan ridha-Nya.
Segala reaksi yang terjadi atas apa yang kita lakukan di dunia, hanya kita masukkan ke zona rasio. Jika reaksinya baik artinya kita bisa lanjutkan proses tersebut. Jika reaksinya kurang baik, maka kita cari solusi untuk perbaikan.
Segala reaksi tersebut tidak kita masukkan ke zona hati. Reaksi baik tidak menimbulkan rasa bangga, apa lagi sombong. Reaksi buruk tidak menimbulkan rasa kecewa, apa lagi frustasi dan putus asa.
Karena yang terpenting adalah jangan sampai kita kecewa di akhirat nanti. Di hari ketika segala upaya tidak bisa kita lakukan lagi. Di hari ketika segala upaya kita akan dinilai. Di hari pembuktian apakah Allah ridha dan berkenan dengan apa yang telah kita persembahkan pada-Nya selama hidup kita.
Hanya itu yang sebenarnya menjadi sasaran seluruh hidup kita. Hanya itu.
Dalam Islam, definisi ini cukup relevan, hanya perlu sedikit tambahan. Yaitu, rasa tulus, tanpa pamrih, tanpa mengharap balas jasa dan penghargaan dari sesama manusia. Rasa bahwa kita melakukan sesuatu hanya untuk Allah, hanya mengharapkan ridha-Nya. Jika dilandasi dengan ikhlas, kita melakukan sesuatu karena yakin hal itu adalah hal yang benar, yang akan membawa kita kepada ridha Allah.
Karena itu, dalam konteks ikhlas dalam Islam, pertanyaan tadi, "Bener nih, ikhlas ya?" akan menjadi pertanyaan yang tidak perlu dijawab, karena jika kita benar-benar ikhlas, melakukan itu karena Allah, bagi kita hanya Allah yang perlu mengetahui kepastiannya.
Dengan landasan ikhlas, kita tidak memerlukan apresiasi dari siapa pun. Reaksi orang lain, baik itu memuji ataupun mencela, menyalahkan atau membenarkan, tidak mempengaruhi keberlanjutan apa yang kita lakukan.
Pujian dan apresiasi cukup dibalas dengan ucapan terima kasih, sebagai penghargaan atas kebaikan hati orang itu. Tetapi dalam hati kita, pujian itu dikembalikan kepada Allah, yang telah membimbing kita selama melakukan hal tersebut. Segala puji hanya bagi-Nya.
Kritik dan celaan diterima tidak menjadikan kita frustasi, tetapi kita anggap sebagai masukan bahwa memang masih banyak hal yang perlu diperbaiki.
Kita tidak akan pernah merasa putus asa, karena kita berorientasi pada proses, hasil akhir bukan di dunia, kita selalu masih bisa melakukan sesuatu.
Kita juga tidak akan pernah menuntut. Tidak akan ada ucapan, "Aku kan sudah buat ini, harusnya kamu begini dong". Kalaupun kita meminta seseorang melakukan sesuatu, tidak lain adalah untuk kebaikan orang itu sendiri.
Kita tidak akan pernah merasa kecewa di dunia, karena memang kita tidak mensasar suatu target. Target di dunia kita jadikan standar kualitas proses, semata-mata untuk memastikan bahwa kita telah melakukan hal yang benar secara hukum alam di dunia.
Namun, ikhlas bukan berarti pasrah dan tidak produktif. Ikhlas justru membuat seseorang ingin terus beramal, berkarya, untuk Dia yang diharapkan ridha-Nya.
Segala reaksi yang terjadi atas apa yang kita lakukan di dunia, hanya kita masukkan ke zona rasio. Jika reaksinya baik artinya kita bisa lanjutkan proses tersebut. Jika reaksinya kurang baik, maka kita cari solusi untuk perbaikan.
Segala reaksi tersebut tidak kita masukkan ke zona hati. Reaksi baik tidak menimbulkan rasa bangga, apa lagi sombong. Reaksi buruk tidak menimbulkan rasa kecewa, apa lagi frustasi dan putus asa.
Karena yang terpenting adalah jangan sampai kita kecewa di akhirat nanti. Di hari ketika segala upaya tidak bisa kita lakukan lagi. Di hari ketika segala upaya kita akan dinilai. Di hari pembuktian apakah Allah ridha dan berkenan dengan apa yang telah kita persembahkan pada-Nya selama hidup kita.
Hanya itu yang sebenarnya menjadi sasaran seluruh hidup kita. Hanya itu.
Thursday, February 17, 2011
Tips Sukses Menghafal Al Qur'an dengan Benar
Pada tulisan saya sebelumnya, saya menjelaskan bahwa menghafalkan Al Qur’an dapat dilakukan dengan mempersering mendengarkan murratal (rekaman bacaan Al Qur’an).
Namun, setelah saya belajar menghafal Al Qur’an secara serius dengan seorang guru, metode yang saya sebutkan itu ternyata tidak terlalu tepat.
Memang baik kita sering mendengarkan murratal, namun hal itu jangan dijadikan sarana utama.
Jika kita ingin menghafalkan dengan benar, yang pertama adalah kita harus tahu pasti bacaan Al Qur’an tersebut secara benar, dari membaca Al Qur’an langsung. Bacaan tersebut kita baca berulang-ulang, sampai akhirnya lisan dan mata terlatih dan hafal, baru kita beranjak ke ayat lain dan mengulangnya lagi. Murratal hanya digunakan untuk memperlancar, jika kita memang sudah menghafalkan sebelumnya.
Selain itu ada beberapa tips sukses menghafal Al Qur’an dari Cak Amin, guru saya :
Pertama, untuk ayat-ayat yang pendek (seperti pada surat di juz-juz akhir), hafalkan dengan menggabungkan 4-5 sekaligus, sampai sekitar 1.5 – 2 baris.
Tujuannya, agar tidak sulit dalam merangkaikan ayat-ayat yang pendek tersebut.
Kedua, carilah waktu khusus setiap harinya untuk menghafal Al Qur’an, yang diupayakan rutin, selama 1 jam, atau minimal 20 menit. Bisa pagi hari sebelum atau setelah subuh, atau sore hari menjelang atau setelah maghrib. Jangan meletakkan jadwal menghafal di tengah-tengah waktu yang sulit kita kendalikan, misalnya di jam kantor, di antara pekerjaan rumah, dll.
Ketiga, jika belum benar-benar hafal dalam satu ”rangkaian” hafalan, sekitar 1.5 - 2 baris, jangan dulu berpindah ke hafalan baru. Lisan dan pendengaran harus benar-benar ”otomatis” membaca dengan benar semua huruf dan semua harakat panjang pendek.
Keempat, niat dengan sungguh-sungguh untuk menghafal Al Qur’an, insya Allah akan Allah mudahkan. Jangan pernah berpikir bahwa menghafal Al Qur’an adalah hal yang sulit, karena pikiran kita akan menjadi doa yang mendorong terwujudnya kenyataannya.
Kelima, gunakan hanya satu Al Qur'an untuk menghafal, karena posisi huruf, kata, dan ayat sangat membantu mengingat. Pada Al Qur'an tersebut boleh ditandai pada tempat-tempat yang kita sering melakukan kesalahan, karena biasanya hal itu akan berulang.
Keenam, hindari perbuatan dosa, karena Al Qur'an mudah dihafal bagi orang yang soleh.
Ketujuh, bagi perempuan yang berhalangan, tetap dapat menghafal Al Qur'an, karena termasuk dalam kondisi belajar.
Sementara demikian tulisan kali ini, semoga bermanfaat :-)
Namun, setelah saya belajar menghafal Al Qur’an secara serius dengan seorang guru, metode yang saya sebutkan itu ternyata tidak terlalu tepat.
Memang baik kita sering mendengarkan murratal, namun hal itu jangan dijadikan sarana utama.
Jika kita ingin menghafalkan dengan benar, yang pertama adalah kita harus tahu pasti bacaan Al Qur’an tersebut secara benar, dari membaca Al Qur’an langsung. Bacaan tersebut kita baca berulang-ulang, sampai akhirnya lisan dan mata terlatih dan hafal, baru kita beranjak ke ayat lain dan mengulangnya lagi. Murratal hanya digunakan untuk memperlancar, jika kita memang sudah menghafalkan sebelumnya.
Selain itu ada beberapa tips sukses menghafal Al Qur’an dari Cak Amin, guru saya :
Pertama, untuk ayat-ayat yang pendek (seperti pada surat di juz-juz akhir), hafalkan dengan menggabungkan 4-5 sekaligus, sampai sekitar 1.5 – 2 baris.
Tujuannya, agar tidak sulit dalam merangkaikan ayat-ayat yang pendek tersebut.
Kedua, carilah waktu khusus setiap harinya untuk menghafal Al Qur’an, yang diupayakan rutin, selama 1 jam, atau minimal 20 menit. Bisa pagi hari sebelum atau setelah subuh, atau sore hari menjelang atau setelah maghrib. Jangan meletakkan jadwal menghafal di tengah-tengah waktu yang sulit kita kendalikan, misalnya di jam kantor, di antara pekerjaan rumah, dll.
Ketiga, jika belum benar-benar hafal dalam satu ”rangkaian” hafalan, sekitar 1.5 - 2 baris, jangan dulu berpindah ke hafalan baru. Lisan dan pendengaran harus benar-benar ”otomatis” membaca dengan benar semua huruf dan semua harakat panjang pendek.
Keempat, niat dengan sungguh-sungguh untuk menghafal Al Qur’an, insya Allah akan Allah mudahkan. Jangan pernah berpikir bahwa menghafal Al Qur’an adalah hal yang sulit, karena pikiran kita akan menjadi doa yang mendorong terwujudnya kenyataannya.
Kelima, gunakan hanya satu Al Qur'an untuk menghafal, karena posisi huruf, kata, dan ayat sangat membantu mengingat. Pada Al Qur'an tersebut boleh ditandai pada tempat-tempat yang kita sering melakukan kesalahan, karena biasanya hal itu akan berulang.
Keenam, hindari perbuatan dosa, karena Al Qur'an mudah dihafal bagi orang yang soleh.
Ketujuh, bagi perempuan yang berhalangan, tetap dapat menghafal Al Qur'an, karena termasuk dalam kondisi belajar.
Sementara demikian tulisan kali ini, semoga bermanfaat :-)
Ketika Musim Madu Tiba (Bagian 4 dari 4 Tulisan)
Ketujuh, masalah populasi penduduk.
Sensus penduduk menyatakan bahwa jumlah perempuan lebih banyak daripada laki-laki. Dan kabarnya, memang jumlahnya itu sekitar 4 : 1.
Kalau kita lihat di sekitar, makin banyak perempuan-perempuan yang masih melajang di usia 30, 40, bahkan 50 tahun, bahkan sampai akhir hidupnya.
Setiap 1 suami kita, sebenarnya ada 3 perempuan lain, yang sebenarnya berhak juga atas suami kita itu. Alangkah kasihannya 3 perempuan lain itu, yang sebenarnya bisa jadi istri dari suami kita, tapi harus hidup melajang seumur hidupnya, hanya karena kita tidak mau berbagi.
Kedelapan, mari berpikir rasional.
Saya mungkin termasuk jenis perempuan yang terlalu rasional, sehingga tidak terlalu memikirkan masalah perasaan. Hehe, untuk masalah perasaan pun saya gunakan kata “memikirkan”.
Menurut saya, seharusnya kita jangan terlalu ”mengutamakan” perasaan. Perasaan harus bisa kita kendalikan. Bahagia dan sedih sebenarnya tinggal kita mengatur harapan dan persepsi. Jika kita turunkan harapan dan ubah persepsi, hidup kita bisa kita buat agar senantiasa bahagia.
Mungkin sebagian akan berkata, bicara saja sih gampang, coba jalani sendiri, bisa nggak? :-)
Ya, memang saya belum menjalani, maka seperti yang saya sampaikan di awal, ini adalah prinsip saya, dan saya berharap Allah senantiasa memberikan bimbingan dan perlindungan-Nya kepada kita semua.
Terakhir berikut dua tanya jawab fikih berkaitan dengan poligami, sesuai dengan yang disampaikan Ibu Ustadzah Herlini Amran di pengajian kantor saya beberapa waktu yang lalu.
Tanya :
Apakah suami yang akan menikah lagi harus minta izin kepada istri pertamanya.
Jawab :
Secara hukum, tidak perlu. Tanpa suami minta izin pun, pernikahan tersebut sah. Jika suami minta izin, lalu istri tidak mengizinkan, pernikahan tersebut sah.
Dalam hal ini lebih kepada masalah hubungan kemanusiaan, hubungan sosial, bahwa lebih baik jika istri pertama mengetahui ketika suaminya akan menikah lagi.
Tanya :
Apakah boleh istri meminta cerai ketika suaminya menikah lagi?
Jawab :
Tidak boleh. Suami menikah lagi tidak bisa menjadi alasan seorang istri untuk meminta cerai. Yang dibolehkan adalah meminta cerai jika suami terbukti menelantarkan, menzhalimi.
Demikian tulisan kali ini, semoga bermanfaat :-)
Sensus penduduk menyatakan bahwa jumlah perempuan lebih banyak daripada laki-laki. Dan kabarnya, memang jumlahnya itu sekitar 4 : 1.
Kalau kita lihat di sekitar, makin banyak perempuan-perempuan yang masih melajang di usia 30, 40, bahkan 50 tahun, bahkan sampai akhir hidupnya.
Setiap 1 suami kita, sebenarnya ada 3 perempuan lain, yang sebenarnya berhak juga atas suami kita itu. Alangkah kasihannya 3 perempuan lain itu, yang sebenarnya bisa jadi istri dari suami kita, tapi harus hidup melajang seumur hidupnya, hanya karena kita tidak mau berbagi.
Kedelapan, mari berpikir rasional.
Saya mungkin termasuk jenis perempuan yang terlalu rasional, sehingga tidak terlalu memikirkan masalah perasaan. Hehe, untuk masalah perasaan pun saya gunakan kata “memikirkan”.
Menurut saya, seharusnya kita jangan terlalu ”mengutamakan” perasaan. Perasaan harus bisa kita kendalikan. Bahagia dan sedih sebenarnya tinggal kita mengatur harapan dan persepsi. Jika kita turunkan harapan dan ubah persepsi, hidup kita bisa kita buat agar senantiasa bahagia.
Mungkin sebagian akan berkata, bicara saja sih gampang, coba jalani sendiri, bisa nggak? :-)
Ya, memang saya belum menjalani, maka seperti yang saya sampaikan di awal, ini adalah prinsip saya, dan saya berharap Allah senantiasa memberikan bimbingan dan perlindungan-Nya kepada kita semua.
Terakhir berikut dua tanya jawab fikih berkaitan dengan poligami, sesuai dengan yang disampaikan Ibu Ustadzah Herlini Amran di pengajian kantor saya beberapa waktu yang lalu.
Tanya :
Apakah suami yang akan menikah lagi harus minta izin kepada istri pertamanya.
Jawab :
Secara hukum, tidak perlu. Tanpa suami minta izin pun, pernikahan tersebut sah. Jika suami minta izin, lalu istri tidak mengizinkan, pernikahan tersebut sah.
Dalam hal ini lebih kepada masalah hubungan kemanusiaan, hubungan sosial, bahwa lebih baik jika istri pertama mengetahui ketika suaminya akan menikah lagi.
Tanya :
Apakah boleh istri meminta cerai ketika suaminya menikah lagi?
Jawab :
Tidak boleh. Suami menikah lagi tidak bisa menjadi alasan seorang istri untuk meminta cerai. Yang dibolehkan adalah meminta cerai jika suami terbukti menelantarkan, menzhalimi.
Demikian tulisan kali ini, semoga bermanfaat :-)
Ketika Musim Madu Tiba (Bagian 3 dari 4 Tulisan)
Keempat, prinsip cinta dalam hidup.
Seharusnya kita punya urutan prioritas cinta dalam hidup, agar kita dapat hidup secara terarah, dan semua tujuan hidup tercapai sesuai peruntukannya.
Yang ideal, urutan cinta itu adalah pertama Allah, kedua Rasulullah, ketiga baru suami. Baru selanjutnya anak dan orang tua. Baru setelah itu hal-hal lain, seperti hobi saya berkebun misalnya :-)
Jika kita sudah letakkan Allah di urutan pertama, maka apa pun ketetapan Allah atas orang-orang yang kita cintai di level berikutnya akan kita terima dengan lapang dada.
Kelima, keyakinan bahwa Allah Maha Adil.
Beberapa yang kurang setuju dengan poligami biasanya mengungkapkan kasus-kasus di mana ada suami yang benar-benar berlaku tidak adil, dan menyengsarakan istri pertama dan anak-anaknya.
Saya tidak memungkiri bahwa hal ini memang kerap terjadi. Dan saya sangat tidak setuju jika poligami terjadi dengan kondisi seperti ini. Dan saya sangat sedih membayangkan istri pertama yang diperlakukan demikian.
Namun, saya yakin Allah pasti berlaku adil. Andaikata nanti Allah mentakdirkan suami saya menikah lagi, saya yakin dia akan berlaku adil dan tidak menelantarkan kami. Kalaulah ternyata nanti suami saya khilaf, lalu berlaku buruk, maka saya yakin Allah akan membantu saya menjalani itu semua dengan baik.
Keenam, mari kita melihat ke sisi positifnya :-)
Haah? Dimadu ada sisi positifnya? Seharusnya ada. Kalau tidak, tentunya tidak ada kisah poligami yang berjalan mulus, yang pada kenyataannya ada.
Dengan adanya istri kedua, kita jadi punya ”partner” dalam berinteraksi dengan suami kita. Sebagian mungkin akan segera menyergah ”Please deh, saya nggak perlu partner untuk hal itu, saya bisa kerjakan sendiri semua dengan baik!”
Hehe, silakan jika berpikir demikian. Namun sebenarnya, jika ada partner, kita bisa mendiskusikan berbagai hal, sehingga ditemukan berbagai solusi terbaik untuk berinteraksi dengan suami. Kita bisa berbagi tugas, berbagi pengalaman dalam mengurus rumah tangga, mengurus anak. Sepertinya cukup menyenangkan ya?
Dalam hal ini mungkin ada juga kasus-kasus buruk, ketika istri kedua memang memiliki maksud buruk, seperti misalnya menguasai seluruh harta suami.
Sekali lagi, saya tidak memungkiri bahwa hal ini memang kerap terjadi. Dan saya sangat tidak setuju jika poligami terjadi dengan kondisi seperti ini. Dan saya sangat sedih membayangkan ada istri kedua yang tega berlaku demikian.
Namun, saya berharap Allah berlaku adil. Andaikata nanti Allah mentakdirkan suami saya menikah lagi, semoga dia mendapatkan istri kedua yang baik. Kalaulah ternyata istri kedua itu buruk, maka saya yakin Allah akan membantu kami semua menjalani itu semua dengan baik.
Sementara sampai di sini dulu, bersambung ke tulisan berikutnya.
Seharusnya kita punya urutan prioritas cinta dalam hidup, agar kita dapat hidup secara terarah, dan semua tujuan hidup tercapai sesuai peruntukannya.
Yang ideal, urutan cinta itu adalah pertama Allah, kedua Rasulullah, ketiga baru suami. Baru selanjutnya anak dan orang tua. Baru setelah itu hal-hal lain, seperti hobi saya berkebun misalnya :-)
Jika kita sudah letakkan Allah di urutan pertama, maka apa pun ketetapan Allah atas orang-orang yang kita cintai di level berikutnya akan kita terima dengan lapang dada.
Kelima, keyakinan bahwa Allah Maha Adil.
Beberapa yang kurang setuju dengan poligami biasanya mengungkapkan kasus-kasus di mana ada suami yang benar-benar berlaku tidak adil, dan menyengsarakan istri pertama dan anak-anaknya.
Saya tidak memungkiri bahwa hal ini memang kerap terjadi. Dan saya sangat tidak setuju jika poligami terjadi dengan kondisi seperti ini. Dan saya sangat sedih membayangkan istri pertama yang diperlakukan demikian.
Namun, saya yakin Allah pasti berlaku adil. Andaikata nanti Allah mentakdirkan suami saya menikah lagi, saya yakin dia akan berlaku adil dan tidak menelantarkan kami. Kalaulah ternyata nanti suami saya khilaf, lalu berlaku buruk, maka saya yakin Allah akan membantu saya menjalani itu semua dengan baik.
Keenam, mari kita melihat ke sisi positifnya :-)
Haah? Dimadu ada sisi positifnya? Seharusnya ada. Kalau tidak, tentunya tidak ada kisah poligami yang berjalan mulus, yang pada kenyataannya ada.
Dengan adanya istri kedua, kita jadi punya ”partner” dalam berinteraksi dengan suami kita. Sebagian mungkin akan segera menyergah ”Please deh, saya nggak perlu partner untuk hal itu, saya bisa kerjakan sendiri semua dengan baik!”
Hehe, silakan jika berpikir demikian. Namun sebenarnya, jika ada partner, kita bisa mendiskusikan berbagai hal, sehingga ditemukan berbagai solusi terbaik untuk berinteraksi dengan suami. Kita bisa berbagi tugas, berbagi pengalaman dalam mengurus rumah tangga, mengurus anak. Sepertinya cukup menyenangkan ya?
Dalam hal ini mungkin ada juga kasus-kasus buruk, ketika istri kedua memang memiliki maksud buruk, seperti misalnya menguasai seluruh harta suami.
Sekali lagi, saya tidak memungkiri bahwa hal ini memang kerap terjadi. Dan saya sangat tidak setuju jika poligami terjadi dengan kondisi seperti ini. Dan saya sangat sedih membayangkan ada istri kedua yang tega berlaku demikian.
Namun, saya berharap Allah berlaku adil. Andaikata nanti Allah mentakdirkan suami saya menikah lagi, semoga dia mendapatkan istri kedua yang baik. Kalaulah ternyata istri kedua itu buruk, maka saya yakin Allah akan membantu kami semua menjalani itu semua dengan baik.
Sementara sampai di sini dulu, bersambung ke tulisan berikutnya.
Ketika Musim Madu Tiba (Bagian 2 dari 4 Tulisan)
Kita masuk ke pembahasan tentang masalah adil.
Ada ayat dalam Al Qur’an yaitu pada surat An Nisa 129 yang menyatakan bahwa ”Sesungguhnya kamu tidak akan sanggup berlaku adil di antara istri-istri kamu walaupun kamu sangat ingin berlaku demikian”.
Sebagian orang memaknai bahwa ayat ini ”bertentangan” dengan ayat 21 tadi, sehingga mereka menganggap bahwa Al Qur’an sendiri menentang poligami.
Namun, dari yang saya dengar tentang tafsir atas kedua ayat itu, terminologi adil dalam dua ayat tersebut sedikit berbeda.
Adil pada ayat 4, merujuk kepada adil secara fisik. Dalam hal ini adalah masalah pembagian harta dan waktu. Sehingga dalam hal ini, adil sangat bisa dihitung, dikuantifikasi, ditetapkan. Walaupun lebih jauh lagi, untuk masalah harta, bisa ada perbedaan pendapat apakah harus sama persis atau proporsional. Tetapi hal ini juga bisa disepakati.
Sedangkan adil pada ayat 129, merujuk kepada adil dalam hati. Dalam hal ini memang sangat sulit untuk dilakukan, karena kecenderungan hati adalah hal yang sering kali sulit untuk dikendalikan.
Kedua, yaitu adanya janji surga bagi perempuan yang bersedia dimadu.
Saya masih mencoba mencari, apakah ada landasan yang sahih untuk pernyataan ini.
Namun, jika hal ini benar, maka ini adalah kesempatan emas yang sangat sayang untuk disia-siakan. Bagaimana tidak. Dengan berbagai amal yang sudah kita lakukan, kita sama sekali tidak tahu pasti, apakah Allah meridhoinya, dan akan memasukkan kita ke surga-Nya.
”Hanya” dengan merelakan suami kita menikah lagi, kita diberikan surga. Surga abadi, sampai akhir zaman. Apalah artinya dimadu ”sebentar” di dunia, dibandingkan dengan indahnya surga yang abadi. Dan bisa jadi, kehidupan dimadu itu tidak separah yang kita bayangkan.
Ketiga, berkaitan dengan prinsip kepemilikan.
Harus kita yakini bahwa segala sesuatu yang Allah berikan pada kita adalah sekedar titipan. Bukan benar-benar milik kita. Apa yang menjadi milik kita di satu waktu adalah baju yang kita pakai, makanan yang telah kita makan, dan tempat kita bernaung saat itu. (Saya harus cek lagi, landasan dari pernyataan ini).
Kapan pun kita harus siap jika ”milik” kita itu diambil oleh Allah. Kalau diambil saja siap, harusnya sekedar ”dibagi” ataupun ”dipinjam”, kita juga siap. Kalau untuk barang kita siap, harusnya untuk makhluk ”suami” pun kita siap.
Sementara sampai di sini dulu, bersambung ke tulisan berikutnya.
Ada ayat dalam Al Qur’an yaitu pada surat An Nisa 129 yang menyatakan bahwa ”Sesungguhnya kamu tidak akan sanggup berlaku adil di antara istri-istri kamu walaupun kamu sangat ingin berlaku demikian”.
Sebagian orang memaknai bahwa ayat ini ”bertentangan” dengan ayat 21 tadi, sehingga mereka menganggap bahwa Al Qur’an sendiri menentang poligami.
Namun, dari yang saya dengar tentang tafsir atas kedua ayat itu, terminologi adil dalam dua ayat tersebut sedikit berbeda.
Adil pada ayat 4, merujuk kepada adil secara fisik. Dalam hal ini adalah masalah pembagian harta dan waktu. Sehingga dalam hal ini, adil sangat bisa dihitung, dikuantifikasi, ditetapkan. Walaupun lebih jauh lagi, untuk masalah harta, bisa ada perbedaan pendapat apakah harus sama persis atau proporsional. Tetapi hal ini juga bisa disepakati.
Sedangkan adil pada ayat 129, merujuk kepada adil dalam hati. Dalam hal ini memang sangat sulit untuk dilakukan, karena kecenderungan hati adalah hal yang sering kali sulit untuk dikendalikan.
Kedua, yaitu adanya janji surga bagi perempuan yang bersedia dimadu.
Saya masih mencoba mencari, apakah ada landasan yang sahih untuk pernyataan ini.
Namun, jika hal ini benar, maka ini adalah kesempatan emas yang sangat sayang untuk disia-siakan. Bagaimana tidak. Dengan berbagai amal yang sudah kita lakukan, kita sama sekali tidak tahu pasti, apakah Allah meridhoinya, dan akan memasukkan kita ke surga-Nya.
”Hanya” dengan merelakan suami kita menikah lagi, kita diberikan surga. Surga abadi, sampai akhir zaman. Apalah artinya dimadu ”sebentar” di dunia, dibandingkan dengan indahnya surga yang abadi. Dan bisa jadi, kehidupan dimadu itu tidak separah yang kita bayangkan.
Ketiga, berkaitan dengan prinsip kepemilikan.
Harus kita yakini bahwa segala sesuatu yang Allah berikan pada kita adalah sekedar titipan. Bukan benar-benar milik kita. Apa yang menjadi milik kita di satu waktu adalah baju yang kita pakai, makanan yang telah kita makan, dan tempat kita bernaung saat itu. (Saya harus cek lagi, landasan dari pernyataan ini).
Kapan pun kita harus siap jika ”milik” kita itu diambil oleh Allah. Kalau diambil saja siap, harusnya sekedar ”dibagi” ataupun ”dipinjam”, kita juga siap. Kalau untuk barang kita siap, harusnya untuk makhluk ”suami” pun kita siap.
Sementara sampai di sini dulu, bersambung ke tulisan berikutnya.
Ketika Musim Madu Tiba (Bagian 1 dari 4 Tulisan)
Sejak sebelum menikah, saya berprinsip bahwa saya bersedia jika suami saya akan menikah lagi. Sampai sekarang setelah saya menikah, saya masih memiliki prinsip yang sama.
Bagi kebanyakan perempuan, prinsip saya ini mungkin dirasa sangat tidak masuk akal, aneh, lebay, sok tau bahkan mustahil. Hehe, silakan kalau ibu-ibu berpikiran demikian, saya tidak dalam posisi memaksa atau mengharuskan ibu-ibu mengikuti prinsip saya. Mungkin memang saya aneh, lebay, sok tau, sok jago :-)
Tapi kalau boleh, saya akan coba jelaskan kenapa saya punya prinsip seperti itu. Baru saja kemarin saya baru saja terlibat obrolan dengan teman-teman kuliah dan mereka menanyakan lagi prinsip saya ini dan saya jadi tergerak untuk membuat tulisan ini.
Di akhir saya coba tambahkan tentang fikih berkaitan dengan poligami, yang saya dapatkan dari ustadzah di kantor pada pengajian beberapa waktu yang lalu.
Oya, sekali lagi, ini adalah prinsip dan teori yang saya usahakan agar menjadi keyakinan saya di dalam hati. Saya sama sekali belum pernah menjalani kehidupan poligami, baik sebagai istri maupun sebagai anak. Sehingga jika ada pengalaman dari ibu-ibu sekalian yang bisa memperkaya tulisan ini, tentunya akan sangat bermanfaat.
Kita mulai ya.
Paling tidak ada 8 hal yang menyebabkan saya siap untuk dimadu.
Pertama, masalah poligami ada di dalam Al Qur’an.
Mungkin sudah banyak yang hafal juga ya suratnya, yaitu An Nisa ayat 4.
Dalam ayat itu Allah memperbolehkan laki-laki untuk memiliki istri 2, 3, bahkan 4. Tetapi jika dirasa tidak mampu untuk berlaku adil, maka Allah perintahkan untuk menikah dengan 1 orang wanita saja.
Mengenai adil, nanti saya bahas belakangan ya :-)
Apa pun yang ditulis dalam Al Qur’an sebenarnya merupakan kebenaran yang pasti, yang harus kita ikuti. Kita dengar, kita ikuti, sami’na wa atho’na. Bagaimana tidak. Al Qur’an dibuat oleh Dia yang membuat kita. Al Qur’an adalah “manual book” untuk “pengoperasian” kita. Apa yang diaturkan Allah di sana pastilah memang sudah sesuai dengan “kapasitas” kita.
Lebih spesifik pada masalah poligami, jika Allah tuliskan laki-laki boleh menikah 2, 3, atau 4, maka ”semestinya” memang akan ada laki-laki yang merasa perlu, atau berpotensi, atau harus menikah dengan 2, atau 3, atau 4 perempuan. Dan di sisi lain, ”semestinya” ada perempuan yang bersedia suaminya menikah lagi, menjadi istri ke-2, ke-3, atau ke-4.
Sementara di sini dulu, disambung lagi ke tulisan berikutnya ya..
Bagi kebanyakan perempuan, prinsip saya ini mungkin dirasa sangat tidak masuk akal, aneh, lebay, sok tau bahkan mustahil. Hehe, silakan kalau ibu-ibu berpikiran demikian, saya tidak dalam posisi memaksa atau mengharuskan ibu-ibu mengikuti prinsip saya. Mungkin memang saya aneh, lebay, sok tau, sok jago :-)
Tapi kalau boleh, saya akan coba jelaskan kenapa saya punya prinsip seperti itu. Baru saja kemarin saya baru saja terlibat obrolan dengan teman-teman kuliah dan mereka menanyakan lagi prinsip saya ini dan saya jadi tergerak untuk membuat tulisan ini.
Di akhir saya coba tambahkan tentang fikih berkaitan dengan poligami, yang saya dapatkan dari ustadzah di kantor pada pengajian beberapa waktu yang lalu.
Oya, sekali lagi, ini adalah prinsip dan teori yang saya usahakan agar menjadi keyakinan saya di dalam hati. Saya sama sekali belum pernah menjalani kehidupan poligami, baik sebagai istri maupun sebagai anak. Sehingga jika ada pengalaman dari ibu-ibu sekalian yang bisa memperkaya tulisan ini, tentunya akan sangat bermanfaat.
Kita mulai ya.
Paling tidak ada 8 hal yang menyebabkan saya siap untuk dimadu.
Pertama, masalah poligami ada di dalam Al Qur’an.
Mungkin sudah banyak yang hafal juga ya suratnya, yaitu An Nisa ayat 4.
Dalam ayat itu Allah memperbolehkan laki-laki untuk memiliki istri 2, 3, bahkan 4. Tetapi jika dirasa tidak mampu untuk berlaku adil, maka Allah perintahkan untuk menikah dengan 1 orang wanita saja.
Mengenai adil, nanti saya bahas belakangan ya :-)
Apa pun yang ditulis dalam Al Qur’an sebenarnya merupakan kebenaran yang pasti, yang harus kita ikuti. Kita dengar, kita ikuti, sami’na wa atho’na. Bagaimana tidak. Al Qur’an dibuat oleh Dia yang membuat kita. Al Qur’an adalah “manual book” untuk “pengoperasian” kita. Apa yang diaturkan Allah di sana pastilah memang sudah sesuai dengan “kapasitas” kita.
Lebih spesifik pada masalah poligami, jika Allah tuliskan laki-laki boleh menikah 2, 3, atau 4, maka ”semestinya” memang akan ada laki-laki yang merasa perlu, atau berpotensi, atau harus menikah dengan 2, atau 3, atau 4 perempuan. Dan di sisi lain, ”semestinya” ada perempuan yang bersedia suaminya menikah lagi, menjadi istri ke-2, ke-3, atau ke-4.
Sementara di sini dulu, disambung lagi ke tulisan berikutnya ya..
Subscribe to:
Posts (Atom)